Orang-Orang Pintar

Orang-orang pintar diatas sana banyak berbicara tentang persatuan.
Sementara saling menjegal menjadi perangai utamanya.
Persatuan mereka hanya digunakan sebagai alat marketing semata.

Orang-orang pintar diatas sana banyak berbicara tentang kebhinekaan.
Sementara bendera partainya sendiri yang lebih mereka kibarkan.
Kebhinekaan mereka hanya digunakan sebagai alat untuk menambah segmentasi pasar saja.

Orang-orang pintar diatas sana, banyak bicara.
Tentang kepentingan yang mereka indah-indahkan.
Tentang wangi surga yang mereka nerakakan,
Dan tentang bau neraka yang mereka surgakan.

Hai orang yang berselimut, bangunlah.
Lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah.
Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.
Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak.
Dan untuk memenuhi perintah Tuhanmu, bersabarlah.

Di Margo Utomo

Kendaraan ku parkirkan di Abu Bakar Ali.
Mengawali pengembaraanku di pagi ini.
Nampak malioboro di sebelah kiriku.
Bersliweran pedagang membawa gerobak biru.
Mataku terpaku ke margo utomo.
Yang dulu kuanggap bagian dari mailoboro.
Ku susuri jalan yang lurus menuju tugu.
Nampak merapi dengan latar biru.
Pecahlah shalawat di mulutku.
Menemani sepinya pengembaraanku.
Kadang, kakiku terhenti di tempat tertentu.
Namun tidak dengan mulutku.
Tetap ku sapa kekasihnya kekasihku.
Meski raga ini tak pernah bertemu.
Namun sosoknya begitu ku rindu.
Ia menjadi jalan tersibaknya gulita.
Mengubah lillah menjadi Allah.
Aku berjalan ditengah keberserahan.
Mencari penawar bagi racun kehidupan.
yaa Sayid, yaa Habib, yaa Muhammad.
Kurasakan getaranmu di Margo utomo.
Jalan yang memberikanku kesadaran.
Akan seorang manusia yang utama.
Dan akan utamanya seorang manusia.

Anak Garuda

Aku bersedih di tengah persilaanku.
Melihat sesama saudara saling menikam.
Sesama anak garuda saling menghantam.
Sebagian mempertahankan penafsirannya.
Sebagian menjadi panji untuk benderanya.
Sebagian menjadi bidak bagi penguasanya.
Sebagian menjadi budak bagi kepentingannya.
Semuanya bercerai-berai tak karuan.

Tapi aku bergembira di tengah sujudku.
Melihat keberanian yang diluar logika.
Melihat anak garuda siap korban nyawa.
Aku berfikir dan bertanya-tanya.
Apa jadinya jika mereka bersatu?
Menjadi garuda yang benar-benar utuh.
Sebagian menjadi kepakan pada sayapnya.
Sebagian menjadi cengkraman pada kakinya.
Sebagian menjadi patukan pada paruhnya.
Sebagian menjadi cakralawa pada matanya.

Diam-diam sesuatu menyusup ke dalam dadaku.
Sesuatu yang menyebut dirinya keyakinan.
Bahwa anak garuda akan tumbuh dewasa.
Menemukan keutuhan pada jati dirinya.
Terbang melintasi besarnya keciutan.
Menemukan kembali martabat ibundanya.
Yang telah lama dilucuti sebagian anak-anaknya.

- Yogyakarta, Oktober 2018